Labels

Sabtu, 26 November 2011

Berguru Pada Google

Popularitas mesin pencari Google sebagai sumber pengetahuan digital telah menjadi tren baru dalam dunia pendidikan. Istilah Googlingbahkan telah menjadi kosakata baru pada siswa dan guru jika telah menemukan jalan “buntu” mencari referensi terkait dengan pelajaran yang dibahas. Jika siswa tidak tahu jawaban mengenai suatu pertanyaan, maka yang menjadi tempat bertanya adalah “Om”Google. Sumber pengetahuan tidak lagi bertumpu pada guru, perpustakaan dan buku, melainkan telah bergeser ke internet sebagai ujung tombak globalisasi informasi. 



Kebuntuan komunikasi antara guru dan siswa terkadang membuat siswa lebih memilih bertanya pada “Om”Google dibandingkan dengan guru mereka sendiri. Hanya dengan memasukkan kata kunci (keywords),“Om” Google dalam hitungan sepersekian detik telah menampilkan ribuan hingga jutaan informasi mengenai kata kunci yang dimasukkan. Berbeda dengan guru yang mempunyai kemampuan terbatas mengenai kata kunci yang ditanyakan oleh siswa tersebut. 

“Guru” Digital

Penetrasi teknologi informasi dan komunikasi membawa dampak yang besar dalam revolusi cara belajar. Pada Agustus 2007, Google merupakan mesin pencari di laman yang paling sering digunakan dengan pangsa pasar sebanyak 53,6%, kemudian Yahoo! (19,9%) dan Live Search (12,9%) (wikipedia.com, 2011). Selain Google, keperkasaan Facebook dalam menghubungkan individu ke komunitas sosial yang tak terbatas telah beradaptasi menjadi media pendidikan interaktif di era digital. “Om” Google dan berbagai piranti internet lainnya telah berubah menjadi “Guru” di era digital. 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bahkan telah membuat laman Klinik Pembelajaran sebagai database pembelajaran yang dapat digunakan oleh tenaga pengajar untuk mengajar menggunakan berbagai media yang telah disediakan dalam laman tersebut. Buku Sekolah Elektronik (BSE) bahkan sudah terlebih dahulu disebarkan dengan harapan memberikan akses seluas-luasnya bagi masyarakat untuk mendapatkan buku pelajaran secara gratis. 

“Serbuan”internet yang telah melakukan penetrasi hingga pelosok desa menjadi tantangan yang maha dahsyat bagi guru dalam mengimbangi akselerasi pengetahuan yang diperoleh siswanya. Ekspansi Jaringan Pendidikan Nasional (Jardiknas) yang merupakan jaringan komunikasi pendidikan antar sekolah dan lembaga pendidikan yang terhubung satu sama lain menjadi tantangan baru bagi guru yang pernah dididik pada zaman 80an hingga 90an. Era digital yang ditandai dengan penggunaan piranti digital dalam segala kebutuhan hidup manusia merupakan era yang datang setelah sang guru lulus dari kampus. Istilah Gagap Teknologi (Gatek) yang terkadang disematkan pada guru yang tidak menguasai ICT (Information and Communication Technology) merupakan sesuatu yang wajar jika sebelumnya mereka mengeyam pendidikan di kampus yang belum menggunakan perangkat ICT dalam proses pembelajarannya. Rekomendasi pemerintah dalam mengadaptasi ICT dalam proses pembelajaran membuat guru harus kembali belajar jika tidak ingin tertinggal dengan guru lain bahkan dengan siswanya sendiri. 

Keberadaan “Om”Google, “Mbah”Google dan berbagai sebutan lainnya telah membuat guru seakan kehilangan wibawa keilmuan karena siswa lebih banyak mendapatkan informasi mengenai suatu mata pelajaran dari “guru’ digital tersebut. Jika sumber pengetahuan telah berpindah ke “guru” digital secara real time, maka posisi guru dan siswa bukan lagi pada tataran guru sebagai sumber pengetahuan dan pada sisi lain siswa sebagai objek belajar.Guru tidak lagi berposisi pada sumber pengetahuan yang harus mengetahui seluruh mata pelajaran.Jika guru berposisi sebagai sumber pengetahuan absolut, maka guru akan terjebak untuk mengetahui secara menyeluruh mata ajar yang diampu. Akhirnya, guru akan mengalami stres, bukan karena rendahnya kesejahteraan, melainkan karena perannya telah diambil alih oleh “guru” digital. 

Pengajar atau Pendidik?

Secara historis jabatan guru mengandung arti pelayan yang luhur (noblest vocation). Panggilan luhur ini terbukti dengan jelas bila kita membaca sejarah pendidikan, baik di Barat maupun di Timur. Pada abad pertengahan, yang menajdi guru adalah orang-orang yang berperan di bidang keagamaan. Tokoh-tokoh agama disebut pula Guru. Mereka adalah orang-orang penting dan mempunyai pengaruh pada jamannya. Mereka seolah-olah memegang kunci keselamatan rohani dalam masyarakat. 

Di India, sistem guru Chela pada zaman Hindu, pada saat itu guru-guru sangat dihormati. Secara jasmani anak dilahirkan oleh orang tua, secara rohani siswa dilahirkan oleh guru. Guru tidak memperoleh gaji. Nafkah diperoleh dari pemberian sukarela. Hubungan antara guru dan siswa diteruskan sampai wafatnya. Di Shanti Niketan yang ditokohi Rabindranat Tagore dapat dipelajari suasana belajar penuh kharisma pembentukan pribadi. Dulu di Indonesia juga dapat kebiasaan yang disebut sistem kula. Di Jepang, istilah sensei merupakan sebutan terhormat bagi guru-guru di tengah-tengah masyarakat yang memiliki kebudayaan tradisional, tetapi nilai-nilai budaya yang patut dijunjung tinggi tetap dipertahankan.

Peran guru dalam proses pendidikan telah dijelaskan pada pasal 1 ayat (1) Undang-undang Guru dan Dosen Nomor 14 tahun 2005 bahwa “guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik oada pendidikan anak usia dini, pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah”. 

Nah, jika kita melihat secara historis dan yuridis mengenai makna guru pada zaman dulu dan dikontekskan di era digital,maka peran guru sesungguhnya sangat mulia. Guru tidak hanya berperan untuk mengajarkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya, melainkan bagaimana mengarahkan siswa untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Desentralisasi pengetahuan ke internet setidaknya dapat menjadi mitra guru dalam proses belajar mengajar, bukan berada pada posisi dikotomis saling menegasikan satu sama lain. Pengetahuan yang paling baik hingga yang paling buruk tersaji di internet, sehingga dibutuhkan guru untuk mengarahkan siswa menggunakan internet secara bijak. 

Peringatan Hari Guru tanggal 25 Nopember setidaknya mengajak guru untukberkontemplasi secara filosofis dalam mengemban tugas mulia sebagai pendidik generasi penerus bangsa. Hari guru menjadi momentum yang tepat untuk mengkaji eksistensi guru dalam mengemban perannya untuk membudayakan pendidikan, bukan sekadar melakukan pengajaran.Kembalinya kata “kebudayaan” ke Kementerian Pendidikan menjadi isyarat bahwa guru sebagai agen pendidikan harus dapat mengimplementasikan pendidikan sebagai sebuah budaya bangsa dalam kerangka pendidikan karakter.

Hakikat pendidikan sebagai proses pembudayaan harus termanifestasi melalui keteladanan karakter yang luhur. Kecurangan ujian nasional yang “terpaksa” dilakukan oleh guru akan menular ke siswa dan menjadi konsepsi hidupnya dalam memecahkan segala persoalan hidup melalui perbuatan curang.Jika kecurangan telah menjadi budaya, maka guru telah gagal dalam memaknai pendidikan sebagai proses pembudayaan nilai-nilai kejujuran. 

Pendidikan sebagai proses pembudayaan memerlukan kearifan (wisdom) seorang guru yang tidak dimiliki oleh “Om” Google. Bangsa Indonesia masih memerlukan guru yang dihormati seperti Chela, yang mempertahankan budaya seperti Sensei, yang mempunyai pengaruh seperti Kula. Berguru pada merekadiharapkan dapat mengarahkan dan membimbing anak didiknya di era digital.Pembinaan bangsa (nation building) melalui keteladanan hanya didapatkan ketika siswa berguru pada guru, bukan berguru pada “Om”Googleatau “guru” digital. Jika bukan dari guru, lalu kepada siapa lagi kita berharap?Selamat hari Guru ke 65!




by: http://www.fajar.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar